Pengendalian Secara Terpadu
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi
terhadap kesalahan dalam pengendalian hama yang dihasilkan melalui pertemuan
panel ahli FAO di Roma tahun 1965. Di Indonesia, konsep PHT mulai dimasukkan
dalam GBHN III, dan diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 3 tahun 1986 dan
undang-undang No. 12/1992 tentang sistem budidaya tanaman, dan dijabarkan dalam
paket Supra Insus, PHT menjadi jurus yang dianjurkan (Arifin 2003). Adapun
tujuan PHT adalah meningkatkan pendapatan petani, memantapkan produktifitas
pertanian, mempertahankan populasi hama tetap pada taraf yang tidak merugikan
tanaman, dan mempertahankan stabilitas ekosistem pertanian. Dari segi
substansial, PHT adalah suatu sistem pengendalian hama dalam konteks hubungan
antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai
teknik yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama tetap berada di bawah
ambang kerusakan ekonomi. Dalam konsep PHT, pengendalian hama berorientasi
kepada stabilitas ekosistem dan efisiensi ekonomi serta sosial. Dengan
demikian, pengendalian hama dan penyakit harus memperhatikan keadaan populasi
hama atau patogen dalam keadaan dinamik fluktuasi disekitar kedudukan
kesimbangan umum dan semua biaya pengendalian harus mendatangkan keuntungan
ekonomi yang maksimal.
Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan
jika populasi hama atau intensitas kerusakan akibat penyakit telah
memperlihatkan akan terjadi kerugian dalam usaha pertanian. Penggunaan
pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama
telah meninggalkan populasi musuh alami, sehingga tidak mampu dalam waktu
singkat menekan populasi hama, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak
dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas
Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang
lebih besar daripada biaya pengendalian. Karena itu secara berkelanjutan
tindakan pemantauan atau monitoring populasi hama dan penyakit perlu
dilaksanakan (Atman Roja 2009).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman kopi
secara terpadu sudah dilakukan dengan memadukan kultur teknis dan pemanfaatan
agen hayati. Pemanfaatan agen hayati yang sudah di kembangkan dalam
pengendalian hama dan penyakit tanaman kopi adalah jamur Beauveria bassiana
(Bb) pada pengendalian hama BPko, Bacillus thuringiensis pada
pengendalian ulat api, dan Kutu tempurung hijau pada pengendalian penyakit
Bercak daun. Pengendalian secara kultur teknis yaitu dengan sanitasi kebun
setiap 1 bulan sekali, yang bertujuan untuk memutus siklus hama dan penyakit.
Fenologi Tanaman Kopi
salah satu permasalahan pada pertanaman kopi
adalah serangan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei).
Informasi mengenai ketahanan tanaman kopi terhadap hama PBKo diperlukan untuk
strategi pengendalian dan perakitan varietas tahan. Penelitian ini mengulas
ketahanan tanaman kopi terhadap hama PBKo bersumber dari berbagai informasi
hasil-hasil penelitian yang menyangkut aspek fenologi tanaman kopi biologi
kumbang H. hampei dan interaksi antara inang tanaman kopi dengan kumbang
H. hampei. Hama PBKo menyebabkan kerusakan jaringan endosperma biji
sehingga terjadi penurunan kualitas biji. Permasalahan hama PBKo lebih serius
dijumpai pada kopi robusta (Coffea canefora) dibandingkan pada spesies
kopi (Coffea arabica) terkait pada perbedaan tipe pembungaan dan
kesesuaian lingkungan tumbuh. Mekanisme ketahanan antisenosis dipengaruhi oleh
perbedaan fenologi buah seperti ukuran, bentuk biskus, warna, dan aroma.
Tingkat kekerasan kulit tanduk diduga yang berperan dalam mekanisme antibiosis,
sedangkan keserempakan waktu pemasakan buah dan ketinggian tempat dapat
berpengaruh terhadap ekspresi ketahanan semu. Telah diinformasikan penemuan
beberapa klon harapan tahan hasil seleksi yang dapat dimanfaatkan untuk perakitan
varietas tahan dan studi mekanisme ketahan PBKo.
Penerapan PHT Kopi
Salah satu daerah pertanaman kopi terdapat di
Malang, Jawa Timur. Petani umumnya menanam kopi di lahan kering (kebun) dengan
menggunakan varietas anjuran hasil sambungan antara varietas exelsa sebagai
batang bawah dan varietas unggul sebagai batang atas. Varietas tersebut berasal
dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember, Jawa Timur. Tanaman kopi
umumnya berumur lebih dari 10 tahun. Populasi tanaman per hektar mencapai 1.462
pohon. Petani kopi mulai menerapkan PHT sejak ada SLPHT tahun 2001/ 2002. SLPHT
berlangsung 5-6 bulan dengan interval pertemuan 1- 2 minggu. Setiap kelompok
belajar terdiri atas 25 orang yang terbagi menjadi 5 kelompok kecil. Materi
SLPHT meliputi: (1) pengenalan hama penyakit dan musuh alaminya, (2) analisis
agroekosistem, (3) pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, (4) teknik
pemangkasanyang baik, (5) pembibitan, (6) pestisida alami, (7) pembuatan
terasering dan rorak, dan (8) sanitasi kebun yang baik. Berikut hasil penerapan
empat prinsip PHT oleh petani kopi di Malang, Jawa Timur. Budi Daya Tanaman
Sehat Komponen teknologi yang berkaitan dengan budi daya tanaman sehat telah
diterapkan oleh petani. Komponen teknologi tersebut meliputi:
(a) pembuatan rorak agar lingkungan kebun
makin terjaga;
(b) pembangunan saluran pengairan, terutama
pada kebun yang lokasinya berdekatan dengan sumber air, sehingga pada musim
kemarau tanaman terhindar dari kekeringan;
(c) pendangiran sesuai dengan kondisi
tanaman;
(d) penggunaan pupuk organik seperti kotoran
kambing dan pupuk bokasi sebagai sumber hara sekaligus untuk memperbaiki
tekstur dan struktur tanah;dan
(e) pemetikan (panen) sesuai anjuran, yaitu
petik lesehan, petik merah/tua, dan petik racutan.
Pelestarian Musuh Alami.
Pelestarian musuh alami pada tanaman kopi
telah dilakukan untuk mengendalikan populasi hama penyakit di kebun. Dalam
pengendalian hama penyakit, petani tidak menggantungkan pada penggunaan
pestisida kimiawi, tetapi melalui pengamatan ekosistem dan membuat kondisi
lingkungan agar tidak sesuai bagi perkembangbiakan hama dan penyakit.
Pengendalian hama penyakit lebih mengutamakan cara mekanik, biologi, dan
penggunaan pestisida nabati. Apabila populasi hama tetap tinggi, petani
menggunakan pestisida kimiawi secara bijaksana.
Perubahan aspek ekologi dan lingkungan sangat
bergantung pada kemampuan petani menerapkan teknologi PHT, terutama dalam cara
pengendalian OPT dan perlakuan terhadap lingkungan kebunnya. Setelah mengikuti
SLPHT, penerapan teknologi PHT oleh petani lebih meningkat dibandingkan dengan
petani yang belum mengikuti SLPHT. Petani juga lebih tahu dan sadar pentingnya
musuh alami serta bahaya penggunaan pestisida kimiawi.
Pengamatan Agroekosistem Secara Rutin.
Pengamatan hama secara teratur merupakan inti
penerapan PHT. Setelah mengikuti SLPHT, sebagian besar (78%) petani telah
melakukan pengamatan hama secara teratur. Hasil pengamatan selanjutnya menjadi
dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan usaha taninya.
Petani Menjadi Ahli PHT dan Manajer di
Kebunnya
Dalam menjalankan usaha tani, petani
diharapkan mampu mengambil keputusan yang tepat dan benar dalam menerapkan PHT
sehingga memberikan hasil yang optimal. Dengan berkelompok, petani dapat
memusyawarahkan masalah hama dan penyakit yang ditemui dalam usaha tani kopi
untuk mengambil tindakan pengendalian yang tepat. Sebelum mengikuti SLPHT,
pengendalian hama diputuskan secara individu. Setelah mengikuti SLPHT, umumnya
petani membawa masalah hama dan penyakit di kebunnya ke kelompok untuk
dicarikan tindakan pengendalian yang tepat. Keputusan petani untuk melakukan
penyemprotan umumnya didasarkan pada kerusakan tanaman. Keputusan tindakan
pengendalian hama penyakit pada umumnya memberikan hasil baik. Salah satu
tujuan pelatihan SLPHT adalah di samping petani mampu menerapkan teknologi PHT
pada usaha taninya, juga dapat menyebarkan teknologi ke petani lain di
sekitarnya. Dengan demikian, petani dapat menjadi mitra penyuluh dalam penyebaran
teknologi PHT.
Manfaat Penerapan Teknologi PHT
Salah satu manfaat yang dirasakan petani kopi
dalam menerapkan PHT adalah produktivitas kopi meningkat sehingga menambah
pendapatan Produktivitas kopi meningkat dari 1.128 kg/ha/tahun (sebelum ikut
SLPHT) menjadi 1.641 kg/ha/tahun (setelah mengikuti SLPHT) atau naik 45,5%.
Peningkatan produksi tersebut selanjutnya meningkatkan pendapatan dari
Rp3.686.959 menjadi Rp5.164.383 atau naik 40%. SLPHT berhasil meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan petani dalam budi daya kopi. Petani mampu
mengenali hama penyakit kopi serta musuh alaminya, serta mengamati secara dini
serangan hama. Dengan mengenal hama panyakit tanaman kopi dan musuh alaminya,
penggunaan pestisida kimiawi menjadi berkurang. Petani menyadari bahwa
penggunaan pestisida kimiawi secara berlebihan akan berdampak buruk terhadap
kelestarian lingkungan (Adang Agustian).
Teknologi Pengendalian Hama Terpadu.
Istilah PHT atau Integrated Pest Management
(IPM) sejak semula telah disadari sebagai suatu konsep atau paradigma yang
dinamis, dan selalu menyesuaikan diri dengan dinamika ekosistem pertanian dan
sistem sosial ekonomi budaya masyarakat setempat. Pengembangan konsep PHT di
dunia menjadi dua paradigma yaitu Technological Integrated Pest Management (PHT
Teknologi atau disebut juga PHT Klasik) dan Ecological Integrated Pest
Management (PHT Ekologi) (Waage,1996 dalam Untung, 2003).
Penetapan strategi dan teknik pengendalian
hama yang dilakukan petani atau yang direkomendasikan oleh lembaga pemerintah
selalu dilandasi oleh suatu pendekatan, prinsip atau paradigma tertentu. Saat
ini, terdapat 4 paradigma perlindungan tanaman yang diterapkan yaitu:
(a) perlindungan tanaman tradisional,
(b) perlindungan tanaman konvensional,
(c) PHT Klasik atau PHT teknologi, dan
(d) PHT ekologi.
Di Indonesia, program PHT muncul sejak tahun
1986 yaitu dengan keluarnya Inpres No.3 tahun 1986. Esensi program tersebut
yaitu dalam rangka menciptakan sistem pertanian yang berwawasan lingkungan.
Definisi klasik Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu sistem pengelolaan
populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan
seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada
suatu aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan
kerusakan ekonomi (Untung, 2003).
Definisi tersebut tampaknya menjadi acuan
dalam mengembangkan PHT sebelum terselenggaranya SL-PHT. Hal ini tercermin pada
pengertian PHT yang dikemukakan Yusdja (1992) bahwa PHT adalah suatu sistem
pengelolaan hama (dalam arti yang luas) dengan menggabungkan berbagai teknik
pengendalian yang serasi dengan sasaran menjadi satu program, agar populasi
hama selalu berada pada tingkat yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis
(ekologis dan sosial diterima), sehingga menghasilkan keuntungan ekonomis yang
maksimal bagi produsen, konsumen dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian
sumberdaya pertanian dapat dimanfaatkan sepanjang masa oleh generasi-generasi
yang akan datang.
Pendekatan yang digunakan dalam PHT adalah
pendekatan komprehensif yang menekankan pada ekosistem yang ada dalam
lingkungan tertentu, mengusahakan pengintegrasian berbagai teknik pengendalian
yang kompatibel sehingga populasi hama dan penyakit tanaman dapat dipertahankan
di bawah ambang yang secara ekonomis tidak merugikan, serta melestarikan
lingkungan dan menguntungkan bagi petani. Pada perkebunan rakyat, kegiatan
sosialisasi PHT melalui SL-PHT telah dimulai semenjak tahun 1997 melalui
beberapa tahapan yaitu:
(a) pelatihan untuk Pemandu Lapang (PL);
(b) Petani Try out dan Murni, dan
(c) Petani tindak lanjut (petani alumni SL-
PHT). Materi dasar dalam pelatihan itu sama yaitu memotivasi petani untuk
melaksanakan 4 prinsp PHT, yakni:
1) budidaya tanaman sehat,
2) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami,
3) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan
4) petani menjadi ahli PHT dan manajer di
kebunnya. Untuk menerapkan prinsip dasar tersebut petani dibekali berbagai
materi yang meliputi:
· pembibitan,
· pemupukan,
· pemangkasan,
· pemetikan,
· analisis agroekosistem (OPT, musuh alami,
tanaman utama, tanaman disekitarnya, abiotik/cuaca);
· produksi agensi pengendalian hayati,
· panen dan
· kelembagaan petani.
Tingkat Adopsi Teknologi PHT
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan
budidaya komoditas perkebunanrakyat kopi antara lain terdapatnya gangguan hama
penyakit yang berdampak terhadap produktivitas dan kualitas hasil. Upaya untuk
meningkatkan produktivitas maupun kualitas produk dihasilkan dari tanaman yang
sehat dan terbebas dari serangan/gangguan hama dan penyakit. Upaya
penanggulangan hama penyakit yang pernah dilakukan dengan menggunakan pestisida
kimia memang cukup berhasil, namun disamping memerlukan biaya yang tinggi
dampak lainnya adalah munculnya resistensi hama penyakit, munculnya peledakan
hama secara massal dan terbunuhnya organisme bukan sasaran serta pencemaran
lingkungan (Rachmat, et al., 1999).
Melalui kegiatan SLPHT perkebunan rakyat,
maka para petani diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut melalui ilmu-ilmu
yang didapatkan pada saat mengikuti SLPHT. Kegiatan SLPHT pada dasarnya
memberikan bekal pengetahuan kepada petani agar dalam melakukan perlindungan
tanaman yang dibudidayakannya senantiasa diarahkan pada konsep PHT melalui
pemanfaatan musuh alami, biopestisida serta penerapan kultur teknis dengan
mempertimbangkan aspek ekologi dan ekonomi. Seringkali pelaksanaan kegiatan
yang berkaitan dengan masalah perlindungan tanaman di tingkat petani tingkat
penerapannya (adopsi) relatif beragam. Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon petani cukup beragam dalam menyerap serta mengaplikasikannya pada
kegiatan usahatani perkebunan. Berikut ini disajikan sintesis atas tingkat
penerapan teknologi PHT pada usahatani perkebunan rakyat dengan komoditas kopi.
Hasil penelitian Hendiarto dan Supriatna
(2004) menunjukkan bahwa petani kopi yang pernah mengikuti SLPHT (alumni SLPHT)
pada umumnya mampu menyerap pengetahuan yang diberikan dalam kegiatan sekolah
lapang, seperti pengetahuan tentang musuh alami; pestisida nabati, pupuk
organik/bokashi dan lainnya. Disamping itu, telah terjadi peningkatan
keterampilan dalam cara budidaya tanaman yang baik, benar dan efisien. Petani
alumni SL-PHT telah terampil dalam kegiatan-kegiatan seperti penyambungan
entris, pengaturan pembuatan rorak, cara pemangkasan, pembuatan pupuk organik
dan utamanya dalam kegiatan pengendalian hama/penyakit tanaman kopi. Jika
dibandingkan dengan petani yang belum mengikuti sekolah lapang (SL-PHT),
pengetahuan dan keterampilan yang dimilki petani alumni SL-PHT relatif lebih
tinggi, terutama dalam hal pengendalian hama, dan mengetahui pentingnya musuh
alami serta bahaya penggunaan pestisida an-organik.
Ragam teknologi yang diterapkan petani kopi
ini di sajikan yaitu tingkat penerapan teknologi pemangkasan, penggunaan bibit
unggul, melestarikan musuh alami dan penggunaan pestisida an-organik tidak
berlebihan telah dilakukan oleh 100 persen responden petani alumni SLPHT.
Sementara penggunaan pupuk secara optimal, penggunaan pestisida nabati dan
pengamatan hama secara teratur diterapkan oleh sekitar 50-77,50 persen
responden petani alumni SLPHT. Menurut hasil penelitian Wiryadiputra, et al.
(2003), bahwa adopsi teknologi PHT oleh petani dipengaruhi oleh berbagai faktor
seperti: tingkat pengetahuan/pendidikan petani, tingkat sosial ekonomi, tingkat
prioritas usahatani kopi, dan harga jual komoditas kopi. Lain halnya dengan
tingkat penerapan teknologi PHT pada petani teh, menurut hasil penelitian
Winarso dan Darwis (2004) bahwa beberapa komponen teknologi PHT masih rendah di
terapkan oleh petani. Anjuran
teknologi tentang penggunaan pupuk secara
optimal tampaknya masih sangat rendah (2,50%) diterapkan oleh petani teh. Hal
ini antara lain disebabkan kurangnya modal usahatani yang mengakibatkan para petani
tidak dapat melakukan pemupukan sesuai dosis optimal yang dianjurkan. Begitu
pula halnya dengan anjuran penggunaan pestisida anorganik/ kimiawi yang tidak
berlebihan baru diterapkan hanya oleh sekitar 12,50 persen petani.
Para petani teh, masih lebih banyak
mengandalkan pestisida kimiawi dalam mengendalikan hama penyakit yang menyerang
tanaman teh. Respon pestisida kimiawi yang secara langsung mengatasi hama
menjadi alasan petani untuk tetap bertahan dalam penggunaannya. Alasan itulah
yang menjadi penyebab rendahnya pengendalian hama penyakit dengan memanfaatkan
pestisida nabati. Terkait dengan masih tingginya pengendalian hama dengan
pestisida pada tanaman teh, hasil penelitian Siswanto, et al.(1999)
mengungkapkan bahwa fakta dilapangan pada petani teh dalam pengendalian hama
penyakit masih mengandalkan pestisida, dan meskipun ada gejala penurunan dalam
penggunaannya hanya diakibatkan karena semakin mahalnya harga pestisida di
tingkat petani. Sementara itu, tingkat penerapan/adopsi komponen teknologi PHT
oleh petani teh telah menunjukkan respon yang memadai dalam upaya pelestarian
terhadap musuh alami (76,25%), pemangkasan tanaman teh secara teratur (88,75%),
dan pengamatan hama secara teratur (72,50%). Menurut Nurindah et al. (2003),
Prinsip pemanfaatan musuh alami secara optimal dalam pengendalian hama terpadu
juga dilakukan pada penerapan PHT tanaman kapas.
Penggunaan varietas kapas yang tahan atau
toleran terhadap wereng kapas merupakan kunci untuk dapat diterapkannya PHT
yang mengutamakan konservasi musuh alami. Selanjutnya, pada kasus penerapan
teknologi PHT pada tanaman lada di ketahui bahwa komponen teknologi PHT,
seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak
berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan OPT secara
teratur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. (Agustian, dan
Hidayat, 2004).
Sementara, penerapan teknologi PHT yang
dilaksanakan oleh petani lada alumni SLPHT adalah terkait pengendalian OPT
dengan pestisida nabati hanya 5 persen, penggunaan pestisida an-organik tidak
berlebihan (10%) dan Penggunaan pupuk secara optimal (40%). Rendahnya
penggunaan pestisida nabati disebabkan oleh kebiasaan petani menggunakan
pestisida kimiawi, dan sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati
(seperti akar tuba atau gadung).
Hal yang sama dengan petani lada karena
alasan respon pestisida kimiawi secara langsung mengatasi hama menjadi alasan
petani untuk tetap bertahan dalam penggunaannya. Menurut Mulya et al. (2003)
bahwa dalam rangka memperbaiki implementasi penerapan PHT lada diperlukannya
peningkatan pengenalan (pengetahuan) tentang penyakit busuk pangkal batang lada
(BPB) telah banyak merusak tanaman lada di Bangka Selatan. Para petani dan
petugas umumnya belum mengenal seara baik gejala BPB, dan oleh karena itu
pengenalan gejala BPB merupakan bagian dari kurikulum SLPHT. Hal senada juga
sejalan dengan hasil penelitian Syafaat et. al. (2003) bahwa tingkat penerapan
atau adopsi teknologi PHT pada petani kapas hanyalah berkisar antara rendah
hingga sedang. Hasil penelitian lainnya(Prasetyo dan Agustian, 2003)
menyebutkanbahwa introduksi teknologi PHT hendaknya lebih ditingkatkan dan
disebarluaskan lagi dikalangan para petani jambu mete. Hal ini disebabkan
secara umum pengetahuan dalam pengendalian hama penyakit yang ramah lingkungan
masih terbatas pada petani. Menurut hasil penelitian Supriadi et al. (2003),
bahwa pemahaman terhadap penyakit busuk akar sangat penting bagi petani jambu
mete, mengingat penyakit busuk akar merupakan penyakit utama yang menyebabkan
kematian baik pada pohon muda maupun pohon yang sudah berproduksi. Penyakit
busuk akar cenderung meluas dari waktu kewaktu.
Berbagai faktor eksternal memiliki peran yang
cukup besar dalam penerapan teknologi PHT seperti:
(1) intensitas penyuluhan yang memadai,
(2) ketersediaan sarana input dan
biopestisida yang dapat diakses secara massal, mudah dan terjangkau oleh
kemampuan ekonomi petani,
(3) menggunakan varietas benih/bibit yang
baik dan unggul sehingga dapat memperoleh produktivitas yang tinggi,
(4) pelaksanaan pemanduan SLPHT dilakukan
secara terpadu dengan melibatkan secara aktif mulai dari petani, penyuluh
pertanian, petugas SLPHT, kelembagaan pemasaran input dan output, dinasdinas
terkait, dan peneliti,
(5) terdapatnya insentif harga jual hasil
yang memadai sehingga petani yang menerapkan teknologi PHT akan semakin
bergairah dalam aktivitas usahataninya.
Mengingat kondisi lahan perkebunan dan petani
pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat), maka pengorganisasian diantara
petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan
populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani
yang bekerja sendiri. Dengan demikian, maka pengelompokkan petani dalam
organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan
lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.
Perubahan Sikap da Perilaku Petani.
Sekolah Lapang PHT merupakan introduksi
teknologi dalam perlindungan tanaman dan pemberdayaan kelompok tani yang
diharapkan dapat menyampaikan pengetahuan dan keterampilan secara efektif.
Konsep SLPHT pertama kali diterapkan pada petani padi sawah, dan karena
dipandang berhasil maka sekolah lapang juga diterapkan pada usahatani di
subsektor lainnya yakni dalam hal ini adalah perkebunan rakyat.
Secara konseptual sekolah lapang PHT
merupakan program yang cakupannya luas dan cukup komprehensif dalam pendekatan
perlindungan dan budidaya tanaman serta dilakukan secara berjenjang dalam
pelatihannya. Transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan dilakukan mulai dari
pelatihan PL-1 (Pemandu Lapang-1), lalu pelatihan PL-2. Pelaksanaan pelatihan
membutuhkan waktu, dengan pengajar yang sesuai dengan bidangnya dan memadukan
antara teori dan praktek. Cakupan yang luas dari program ini dimungkinkan
terdapatnya kontinyuitas program dengan pendekatan multi years program dan
menghindari replikasi program pada lokasi dan sasaran yang sama. Dengan metode
seperti ini, maka diharapkan pada suatu waktu seluruh petani mendapat
pengetahuan dan keterampilan tentang PHT dan budidaya tanaman perkebunan secara
lebih baik. Perubahan pengetahuan tentang manfaat teknologi PHT pada petani
kopi cukup baik kemajuannya dengan respon petani antara 62,2 – 100%. Perubahan
pengetahuan akan manfaat PHT, petani alumni SLPHT secara dominan (62,5 –
100,0%) menyatakan merasakan terdapatnya perubahan pengetahuan akan manfaat
teknologi PHT. Kelompok tani pun, setelah munculnya kegiatan SLPHT menjadi
lebih aktif seperti ditunjukkan oleh respon petani yang mencapai 65,00%. Sikap
petani setelah mengikuti SLPHT, jika terdapat serangan hama penyakit pada
tanamannya meskipun masih tetap melakukan penyemprotan dengan pestisida namun
petani telah melakukan pengamatan terlebih dahulu (50,00%) dan pengendalian
dilakukan sesuai anjuran teknologi PHT (52,50%). Disamping itu, sudah tidak ada
petani (0,00%) yang membiarkan tanamannya bila terdapat serangan hama penyakit.
Berbeda halnya dengan petani kopi, petani
teh, ternyata perubahan pengetahuan tentang ambang pengendalian hama penyakit
dan pestisida nabati relatif rendah yaitu 5,50 dan 28,00% petani. Kegiatan
kelompok tani hanya 48,50% menjadi lebih aktif. Sikap petani setelah mengikuti
SLPHT: Jika terdapat serangan hama penyakit, tetap melakukan penyemprotan
dengan pestisida (43,50%), dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu (41,00%)
serta melakukan pengendalian sesuai anjuran teknologi PHT (32,50%). Lebih dari
pada itu sudah tidak ada lagi petani (0,00%) yang membiarkan tanamannya bila
terdapat serangan hama penyakit.
Perubahan pengetahuan tentang ambang
pengendalian hama penyakit dan pestisida nabati pada petani lada ternyata
sangat rendah yaitu 0,00 dan 2,50% petani. Sementara pada kelompok tani,
setelah munculnya kegiatan SLPHT sebesar 60,00% petani menyatakan menjadi lebih
aktif. Sikap petani setelah mengikuti SLPHT, jika terdapat serangan hama
penyakit pada tanaman lada masih tetap melakukan penyemprotan dengan pestisida
(45,00%), dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu (70,00%) dan melakukan
pengendalian sesuai anjuran teknologi PHT (32,50%). Sementara itu, menurut
persepsi aparat atau petugas lapang dengan adanya sekolah lapang dianggap
menjadi pendekatan yang lebih efektif dibanding dengan program kursus pertanian
yang hanya menekankan aspek teoritis semata (Prasetyo et al., 2001).
Keaktifan sekolah lapang yang didukung oleh
keterlibatan langsung PL-1 dan PL-2 yang membedakan dengan program pelatihan lainnya
yang kerap lebih kental muatan administrasinya
Jumat, 21 Juni 2013
Konsep penegendalian hama terpadu_dasar perlindungan tanaman
07.36
1 comment
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mudah"N bermafaat....
BalasHapus